Review Film Waktu Maghrib (2023): Teror Mistis Saat Matahari Terbenam

Film horor Indonesia kembali menunjukkan taringnya lewat Waktu Maghrib (2023), sebuah film yang menggabungkan teror mistis dengan nuansa budaya lokal yang kental. Disutradarai oleh Sidharta Tata dan diproduksi oleh Rapi Films, film ini menyuguhkan cerita yang relatable, terutama bagi masyarakat Indonesia yang akrab dengan larangan keluar rumah saat azan maghrib berkumandang.

Sinopsis Singkat: Teror yang Dimulai Saat Senja

Dunia Anak-anak yang Mendadak Mencekam

Waktu Maghrib berfokus pada kehidupan dua siswa SMP, Adi dan Saman, yang tinggal di sebuah desa kecil di daerah Jawa. Cerita bermula dari suasana sekolah dan kehidupan sehari-hari yang normal. Namun, semuanya berubah saat seorang teman sekelas mereka, Adit, meninggal secara misterius setelah memaki guru mereka.

Kematian Adit ternyata memicu serangkaian kejadian mistis yang tak bisa dijelaskan secara logika. Desa yang awalnya tenang perlahan berubah menjadi mencekam setiap kali matahari mulai terbenam.

Elemen Horor yang Unik dan Dekat dengan Budaya Lokal

Larangan yang Jadi Nyata

Salah satu kekuatan utama film ini adalah pendekatan horornya yang sangat membumi. Larangan orang tua untuk tidak bermain saat maghrib sering kali dianggap mitos, namun dalam film ini, larangan tersebut justru menjadi pusat konflik utama. Sidharta Tata berhasil menghidupkan kembali rasa takut masa kecil penonton lewat suasana yang dibangun dengan apik.

Sound design yang mendalam dan sinematografi gelap semakin menambah ketegangan. Ditambah dengan akting anak-anak yang cukup meyakinkan, film ini mampu menyuguhkan atmosfer yang autentik dan menyeramkan tanpa perlu mengandalkan jump scare murahan.

Pesan Moral dan Relevansi Sosial

Horor yang Mengandung Nilai

Waktu Maghrib tak hanya menakuti, tapi juga membawa pesan kuat tentang pentingnya menghargai nasihat orang tua dan guru. Di tengah gempuran horor modern yang kadang hanya fokus pada efek visual, film ini hadir sebagai penyegar dengan menggabungkan kearifan lokal dan cerita yang bermakna.

Film ini juga menjadi refleksi atas dunia pendidikan dan perlakuan terhadap anak-anak di sekolah. Kekerasan verbal dan tekanan mental yang dialami oleh anak-anak menjadi tema penting yang secara halus dimasukkan ke dalam cerita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *